a

Facebook

Twitter

Copyright 2022 SP Lawyer.
All Rights Reserved.

8:00 - 19:00

Our Opening Hours Mon. - Fri.

0858 - 1957 - 7338

Call Us For Free Consultation

Facebook

Twitter

Search
Menu
 

Perceraian Sebagai Gejala Sosial

Solahudin Pugung SH, MH > Artikel  > Perceraian Sebagai Gejala Sosial

Perceraian Sebagai Gejala Sosial

Perceraian Sebagai Gejala Sosial

www.splawyerjakarta.com – Perceraian sebagai gejala sosial di masyarakat.

Cerai berarti memisahkan sesuatu yang telah di satukan.  Yaitu dua insan manusia yang tadinya melakukan aqad sepakat mengikatkan diri untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga.

Kemudian memisahkannya kembali, baik oleh keinginan salah satu pihak maupun atas keinginan kedua belah pihak.

Latar Belakang Perceraian

Terjadinya perceraian dalam suatu rumah tangga tentu ada penyebab yang melatar belakanginya, dan pada umumnya penyebab perceraian tersebut di antaranya adalah :

Masalah Ekonomi

Cita-cita ideal sebuah rumah tangga adalah selain menyalurkan kecenderungan untuk berketurunan, juga ingin hidup tenang dan damai bersama.

Bersama dalam hal ini suami dan istri secara bersama-sama membesarkan anak-anak menjadi manusia yang berguna.

Namun dalam perjalanannya terkadang asa tak selaras dengan fakta. Cita-cita hidup sejahtera bisa berubah jadi bencana tatkala kebutuhan dasar ekonomi tak mampu terpenuhi.

Apalagi hidup di jaman modern seperti sekarang ini, lapangan kerja yang sempit, kebutuhan rumah tangga serba majal atau ekonomi mengalami biaya tinggi, di tambah lagi dengan pola hidup konsumtif serta gelombang hedoisme yang melanda masyarakat kita akhir-akhir ini.

Dalam situasi seperti ini mau tidak mau sebuah rumah tangga benar-benar di tuntut gigih berusaha dalam memenuhi kebutuhannya.

Kreatif dan sabar serta pandai berhemat bila tidak ingin biduk rumah tangganya karam di telan jaman.

 

Campur Tangan Pihak Luar

Setiap orang yang berumah tangga tentunya menginginkan kehidupan yang harmonis bahagia dan kekal sebagaimana yang menjadi tujuan perkawinan itu sendiri.

Tetapi pada kenyataannya tak jarang perjalanan suatu rumah tangga menjadi kacau dan berantakan karena ikut campur-nya pihak luar, baik dari pihak keluarga suami maupun pihak keluarga isteri.

Kita tidak menampikkan intervensi pihak luar dalam urusan suatu rumah tangga, asal bersifat konstruktif dan masih dalam batas-batas yang wajar serta proporsional.

Akan tetapi masuknya pihak luar baik dari pihak keluarga suami maupun dari pihak keluarga isteri dalam urusan suatu rumah tangga, dapat menjadi tidak proporsional.

Dan tidak jarang situasinya tidak sehat, sehingga dapat mengancam kelangsungan suatu perkawinan.

Data menunjukkan dari hasil penelitian delapan universitas negeri menyatakan bahwa 60% dari suatu rumah tangga selalu di campuri oleh pihak luar.

 

Selingkuh

“Hidup saya saat ini sangat berat dan rasanya saya tak sanggup lagi untuk menjalankannya. Kalau tidak ingat menjaga nama baik keluarga pasti saya sudah bunuh diri. Saya berasal dari kalangan keluarga mampu tetapi suami saya suka keluyuran di tempat hiburan malam. Belakangan saya ketahui suami saya punya perempuan simpanan dan mereka suka berkencan di hotel-hotel. Yang lebih menyakitkan lagi suami saya malah menggugat cerai”.

Kutipan di atas adalah jeritan pilu hati seorang wanita yang perasaannya tersayat saat mengetahui suaminya selingkuh hingga rumah tangganya diambang kehancuran.

Begitu pula sebaliknya selingkuh bisa juga terjadi pada diri seorang wanita sebagaimana yang terdapat dalam pengakuran seorang laki-laki di bawah ini.

“Kami sudah menikah selama enam tahun dan di karuniai dua orang anak tetapi suadah sebulan kami pisah ranjang. Penyebabnya karena saya memergoki istri saya selingguh dengan ponakan jauh dari pihak istri yang ikut dengan keluarga kami. Suatu saat saya dinas di luar kota selama tiga hari, karena ada surat penting yang tertinggal saya kembali ke rumah ternyata saya mendapatkan keduanya sedang berkencan di kamar kami”.

Demikian contoh selingkuh menjadi ancaman serius yang bisa menimbulkan akibat terjadinya kehancuran dalam membina rumah tangga seperti yang penulis kutipkan pada dua contoh di atas.

 

Perselisihan atau Ketidak Cocokan

Ketika masih berpacaran kedua belah pihak berusaha menutupi kekurangannya masing-masing agar hubungan tetap manis dan takut kehilangan.

Bila melihat keburukan pasangannya pun mereka berusaha menutup mata sambil berbaik sangka dengan harapan kelak bisa berubah.

Karena masing-masing berada di awang-awang berkhayal dan dilanda cinta buta biasanya orang tidak bisa melihat secara wajar.

Namun setelah beberapa lama hidup bersama dalam suatu rumah tangga, mulailah tampak watak asli pasangan hidupnya.

Baik dari sisi positif maupun dari segi negatif, mulai dari hal yang sepele sampai kepda hal yang besar-besar dan serius.

Semua perbedaan dan masalah yang timbul tersebut bila tidak dikelola dan di sikapi dengan bijak, berpotensi menimbulkan perselisihan atau konflik yang membahayakan keselamatan rumah tangga serta tidak menutup kemungkinan berakhir dengan perpisahan.

 

Perceraian Sebagai Pilihan Akhir

Dari beragam masalah yang kita kemukakan di atas, ada rumah tangga yang mampu melewatinya dengan selamat.

Mereka bisa menyikapi secara bijak dan arif dengan penuh kesabaran serta menganggap semua kejadian itu sebagai sebuah ujian.

Namun tidak sedikit pula rumah tangga yang kandas ketika diterpa beragam persoalan di maksud dan memilih perceraian atau perpisahan sebagai jalan terakhir dalam menyelesaikan masalah.

Ya, perceraian bukanlah kehendak endemi manusia, siapapun tak ada yang menginginkannya.

Apalagi jika kita melihat tujuan dari perwakinan adalah untuk mewujudkan kehidupan yang bahagia kekal, mawadah dan rahmah.

Namun begitu, apabila tujuan pernikahan bahagia kekal, mawaddah dan rahmah tidak tercapai dan sudah cukup syarat-syarat untuk bercerai seperti yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, maka dapat dipahami kalau kemudian perkawinan itu harus di akhiri.

Alasan Perceraian Menurut Hukum

sebagaimana telah kita singgung diatas bahwa perceraian bukanlah kehendak manusia, tiada seorangpun di dunia ini yang berharap rumah tangganya kelak akan mengalami kehancuran atau berakhir dengan perceraian.

Namun demikian, perceraian dalam suatu rumah tangga bisa dimengerti dan dimaklumi apabila tujuan dari pernikahan yakni bahagia kekal, mawaddah dan rahmah sudah tidak tercapai, baik karena perilaku salah satu pihak maupun karena perilaku kedua belah pihak.

Tentunya rumah tangga yang seperti ini tidak akan menemukan ketenangan seumur hidup juga jauh dari bahagia dan ridho Tuhan.

Akan tetapi untuk mengambil keputusan bercerai bukanlah perkara mudah. Perceraian tidak dapat dibenarkan apabila disebabkan oleh hal-hal yang sepele.

Karena itu perceraian baru bisa dibenarkan apabila telah terjadi pelanggaran terhadap hal-hal yang sangat prinsip dalam kehidupan berumah tangga, baik pelanggaran terhadap norma-norma agama, maupun pelanggaran terhadap norma-norma hukum.

Adapun hal-hal yang prinsip yang bisa dibenarkan untuk mengambil keputusan bercerai sesuai dengan norma-norma hukum adalah sebagai berikut :

Bagi masyarakat yang beragama Islam baik mereka yang tergolong masyarakat umum maupun meraka yang berstatus sebagai anggota Pegawai Negeri Sipil ( PNS ), anggota Tentara Nasional ( TNI ) dan anggota Kepolisian Republik  Indonesia (POLRI).

Bila telah mengambil keputusan hendak melakukan perceraian maka harus memenuhi alasan-alasan yang sesuai dengan hukum positif yang berlaku di negara kita, yang dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam atau KHI.

Di dalam pasal 1 ayat (2) Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, menyebutkan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar dalam mengajukan suatu gugatan perceraian adalah sebagai berikut :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukum dalam satu rumah tangga.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam atau KHI dalam Bab XVI, Bagian Kesatu, tentang Putusnya Perkawinan, pasal 16, juga menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar diajukannya suatu perceraian, yang pada prinsipnya sama dengan yang di atur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, Hanya saja ada 2 *dua) tambahan penting yaitu :

a. Suami melanggar taklik-talak.

b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

 

Macam atau Bentuk Perceraian

Pada intinya dalam suatu perkara perceraian di Pengadilan Agama hanya ada dua pihak yang berperkara yaitu dari pihak suami dan pihak istri.

Karena itu lembaga peradilan khususnya pengadilan agama menggunakan dua istilah yang berlainan untuk membedakan gugatan yang datang dari pihak suami dan gugatan yang datang dari pihak istri, karena masing-masing mempunyai konsekuensi yang berbeda.

Adapun kedua macam atau bentuk perceraian itu adalah :

a. Cerai Gugat

Yaitu inisiatif berperkara atau yang berinisiatif mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama adalah datang dari pihak istri.

Di sini untuk istri Pengadilan Agama menggunakan istilah Penggugat, sedangkan terhadap si suami disebut Tergugat. Dalam surat resmi perkaranya pun bertitelkan perihal Gugatan.

b. Cerai Talak

Yaitu inisiatif berperkara atau yang berinisiatif mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama adalah datang dari pihak suami.

Di sini untuk si suami, Pengadilan Agama menggunakan istilah Pemohon, sedangkan untuk pihak si istri Pengadilan Agama menggunakan istilah Termohon.

Dalam surat resmi perkaranya pun bertitelkan perihal Permohonan.

 

Penutup

Demikian artikel tentang Perceraian Sebagai Gejala Sosial. Semoga bermanfaat.

 

Artikel lain : Prosedur Perceraian di Pengadilan Agama

 

 

 

No Comments

Leave a Comment

Silahkan hubungi team kami untuk konsultasi atau pertanyaan Anda. Terima kasih